Untuk mengetahui sosok Dadang Ari Murtono Anda bisa membaca sepenggal cerita Tentang Pengarang.
Cerita
Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri
Bila ia benar bunuh diri – entah dengan
cara apa – mungkin orang-orang yang tahu hari-hari terakhirnya akan meyakini
bahwa dia bunuh diri karena jatuh gila. Dan bagi yang mengenalnya di masa jauh
sebelum saat ini, barangkali akan lebih percaya kalau dia bunuh diri karena
patah hati. “Dia lelaki yang dikutuk cinta. Dua kali dia jatuh cinta. Dan dua
kali itu pula jatuh cintanya salah. Jatuh cinta kepada perempuan yang telah
bersuami dan cintanya berujung malang. Dia pasti salah jatuh cinta lagi dan tak
kuat menahan sakit lalu bunuh diri.”
Tapi baiklah kuceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Ini memang berhubungan dengan cinta. Dan berhubungan pula
dengan gila. Cinta memang selalu gila, bukan? Tapi kali ini dia tidak jatuh
cinta kepada perempuan. Dia jatuh cinta kepada cerita-cerita. Cinta yang
membuatnya meninggalkan pekerjaan mapannya di perusahaaan telekomunikasi dan
dibenci keluarganya yang sebenarnya bermaksud baik dan menghendaki ia hidup
seperti kebanyakan orang, “hidup yang normal,” kata keluarganya. Tapi cinta
memang tidak bisa dipaksakan. Cinta bekerja dengan cara tersendiri yang
terkadang tidak masuk akal. Dan ia telah membuat keputusan.
Dia banyak menulis. Namun sekali waktu,
ketika harapan masa depan yang lebih cerah terbit di dadanya, beberapa orang
menuduhnya pencuri. Padahal ia pencinta teguh. Dan bagaimana orang yang
mencintai sanggup mencuri sesuatu dari apa yang dicintainya? Yang terjadi sesungguhnya
adalah ketika ia mencoba sampai sebatas apa cerita itu bisa dibikin, para
penuduh itu menyalahpahaminya. Orang-orang itu seperti tahu semua hal tentang
cerita. Tapi mereka hanya tahu apa yang sudah ada atau pernah dibuat oleh
orang. Merekalah sepandai-pandai penjaga kemapanan, bukan pendorong perubahan,
atau penemu hal baru. Dan ia menulis sesuatu yang belum pernah ada (barangkali
pernah ada, namun tidak sepenuhnya seperti yang ia lakukan). Menulis nyaris
sama dengan tulisan orang lain, namun pada beberapa bagian memelencengkannya.
“Bagaimana pun juga, sekali pun ia telah memberi keterangan bahwa apa yang
dibikinnya berdasarkan cerita orang lain, tetap saja dia pencuri!” teriak para
penuduh itu. Lalu segenap orang, seluruh semesta seakan berbalik arah
melawannya, memusuhinya. Ia merasa menjadi korban fitnah. Dan sengaja dibunuh
pelan-pelan dalam sepi di dunia yang dicintainya
Lalu tak ada lagi satu pun apa yang ia
bikin yang terbit. Dan teman-temannya – karena malu berteman dengan pencuri –
meninggalkannya satu-satu. “Dia pernah menulis cerita berjudul Lelaki Sepi. Dan
kini, benar-benar sepilah dia. Salahnya sendiri ngawur membikin cerita. Apa dia
tidak tahu kalau cerita itu seperti doa? Seperti nama, bukan?” simpul salah
satu temannya dalam sebuah perbincangan di warung kopi.
Sedang makian, terus saja datang dalam
rombongan besar kepadanya. Sungguh, ia merasa lebih baik ditusuk pisau daripada
diperlakukan seperti itu. Dalam sepi yang begitu purba, ia memutuskan berteman
dengan benda-benda. Ia mulai bicara pada komputer, pada piring, pada batu, pada
tembok, pada bulan, dan sebagainya.
Tapi semua tidak lantas selesai begitu
saja. Sebagaimana semua orang yang hidup, ia juga butuh makan, minum, sabun,
odol, dan perkara-perkara lain yang hanya bisa selesai bila ada uang. Ia
percaya seseorang harus melakukan sesuatu dilandasi cinta. Bukan keterpaksaan.
Dan karena tak ada pekerjaan yang dicintainya selain menulis, maka dia terus
menulis. Terus dan terus. Dan terus pula berupaya agar ada yang berkenan menerbitkan
tulisannya. 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang bulan,
sepanjang tahun, ia menulis. Telah berapa ribu cerita ia tulis? Tapi apa yang
pernah dialaminya, fitnah itu, tak cukup
menumbuhkan – paling tidak – rasa kasihan bagi orang-orang di koran dan
penerbit untuk meluluskan permintaannya. Sekali waktu, ada sebuah koran yang
memuat tulisannya, dan hanya dalam hitungan menit, ribuan hujatan dialamatkan
ke koran tersebut. Siapa bilang pengarang telah mati dan hanya karya yang
bicara ketika tulisan itu telah selesai dibuat? Omong kosong.
Lalu seperti Akutagawa, penulis yang
ceritanya pernah ia garap ulang dan menyebabkan ia mengalami nasib buruk
sedemikian panjang, ia sepenuhnya menyadari dirinya menjadi gila. Barangkali
bila persoalannya adalah sekadar menjadi gila, maka akan lebih mudah
menanggungkannya. Tapi yang ia alami adalah menyadari sepenuhnya bahwa ia
tengah dalam proses menjadi gila. Dan sungguh, itu sangat menyakitkan.
Seandainya Akutagawa masih hidup, kau bisa bertanya kepadanya bagaimana rasa
yang sedemikian itu. Bukan hanya sepi yang membikin seseorang menjadi gila,
namun juga lapar dan perasaan tidak dihargai. Dan pada suatu malam, ia
didatangi oleh makhluk-makhluk yang tidak ada dalam dunia nyata,
makhluk-makhluk yang ia yakini juga mendatangi Akutagawa menjelang kematian
sang pengarang itu karena bunuh diri pada usia 35 tahun. Makhluk-makhluk yang
disebut Akutagawa Kappa dalam sebuah novelet dengan judul ‘Kappa’. Makhluk
setinggi 1 meter dengan tangan dan kaki berselaput dan tengah puncak kepalanya
berbentuk oval, cekung seperti piring.
Dan ia mulai melupakan benda-benda.
Benda-benda tidak bisa diajak berbincang, apalagi berdiskusi. Ia telah mencoba
menceritakan hal paling remeh kepada benda-benda itu, semisal, “hari ini hujan,
aku kedinginan, apakah kau juga kedinginan?” namun benda-benda tetap saja diam.
Dengan para Kappa, ia bisa berbincang dan berdiskusi. Apalagi ada dari Kappa
itu yang berprofesi sebagai filsuf, penyair, pegawai bank, gubernur, bahkan
sampai pemabuk dan pengangguran. Ia bisa bicara banyak. Di mana-mana, selalu
saja ada Kappa yang menemaninya. Dan di mana-mana itu pula, ia berbincang
dengan asyik. Keasyikan yang membuatnya lupa mandi, lupa ganti baju, lupa cukur
rambut dan potong kuku.
“Awalnya ia bicara dengan benda-benda,
sekarang malah dengan sesuatu yang tak ada,” ia tidak menghiraukan ucapan orang
semacam itu.
“Dasar pengarang gila. Ia merasa tengah
berbicara dengan Kappa. Itu pasti karma karena dia pernah mencuri karya
Akutagawa. Biar saja dia gila seperti itu. Sebentar lagi dia pasti akan mati,”
sahut orang yang lain.
Di antara semua Kappa, ada satu yang paling
disukainya. Nama Kappa itu tidaklah penting benar. Yang jelas, Kappa itu adalah
penyair. Ia merasa melihat pantulan dirinya di cermin pada diri Kappa itu.
Penyair yang telah menulis ribuan puisi tapi tak satu pun yang menganggap puisi
sang Kappa bagus. Kappa itu hidup dalam keprihatinan yang sangat. Bahkan,
seringkali, ketika lapar telah terlalu, mengais makanan sisa dari tong sampah.
Beberapa kali, sang Kappa berpura-pura gila agar bisa kencing di celana dan
makan gratis di warung. Kappa itu juga tak jarang melakukan hal-hal tidak masuk
akal yang menurutnya dikerjakan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai bahan
tulisannya. Ketika punya uang, Kappa berambut kusut itu pernah menelan sepuluh
butir obat sakit kepala hingga nyawanya nyaris lepas. “Agar aku tahu bagaimana
rasanya sekarat,” terang si Kappa.
“Dunia benar-benar sudah miring!” kata si
Kappa pada suatu kali. Tapi yang sesungguhnya terjadi adalah si Kappa penyair
yang jalannya miring. Segenap dunia masih pada posisinya yang wajar. “Aku telah
menulis puisi terhebat. Yang terhebat dari semua yang pernah aku tulis. Dan
kalau orang-orang tetap saja mengejekku, aku akan bunuh diri. Aku tidak sudi
hidup di dunia yang miring. Hanya orang-orang miring yang akan meremehkan apa
yang telah kubuat ini,” kata si Kappa suatu sore. Dan ia menjawab perkataan si
Kappa dengan kalimat yang mungkin sekali akan terus disesalinya. “Barangkali
dunia tidak membutuhkan puisi-puisimu. Bahkan mungkin, dunia juga tidak
membutuhkanmu. Dan tak akan ada bedanya kau hidup atau mati,” katanya meski
sesungguhnya kalimat yang diucapkannya sembari menundukkan wajah itu lebih ia
peruntukkan bagi dirinya sendiri.
Sore itu adalah sore terakhir ia bertemu
sang Kappa penyair. Seminggu ia tidak bertemu sebab sang Kappa bilang butuh
waktu untuk menyempurnakan puisi tersebut. Dan pada hari kedelapan, ia
mendengar dari Kappa filsuf – Kappa yang paling sering mengatakan alangkah
buruk dan tidak bermutunya karya Kappa penyair dan bahwa hanya orang-orang
idiot yang mau membaca tulisan si Kappa penyair itu – bahwa Kappa penyair mati
di kamarnya gantung diri. Ia terkejut mendengar berita itu. Ia berduka. Ia
teringat apa yang diucapkan si Kappa pada pertemuan terakhir mereka. Dan ia
semakin terkejut ketika Kappa filsuf itu berkata lirih, “barangkali setelah
ini, karya-karya yang ia tinggalkan akan lebih bernilai. Bukankah bahkan dalam
duniamu sendiri, banyak pengarang yang jadi penting setelah menuntaskan
hidupnya yang tragis dengan cara yang juga tragis?”
Dan malam itu, ia menulis sebuah cerita
tentang dirinya sendiri. “Sebuah Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri”
judulnya.
Ah, seandainya kau membaca cerita itu,
mungkin kau akan keheranan bagaimana seseorang bisa meneguhi sesuatu yang
seperti begitu sia-sia. Tapi bila kau pernah membaca Myte Sysiphus-nya Camus,
mungkin kau akan menggumam: “haruslah dibayangkan Dadang bahagia!”
Dan apakah Dadang benar-benar jadi bunuh
diri? Entahlah. Tapi bila benar ia bunuh diri, pastilah ia akan didapati mati
sambil membawa sebilah pisau (Ia yakin genggaman yang kuat akan membawa pisau
itu turut bersama rohnya). Untuk apa? Sekali waktu, ia pernah berkata, “kelak
di akhirat, bila Tuhan membungkam dari pertanyaanku kenapa takdir sebegini
buruk yang ditimpakan kepadaku, maka aku akan menikam-Nya. Aku benci Tuhan yang
bisu.”
0 komentar:
Posting Komentar