TERBITKAN BUKUMU DI PUSTAKA KATA

Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go.

TERBITKAN BUKUMU DI PUSTAKA KATA

Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go.

TERBITKAN BUKUMU DI PUSTAKA KATA

Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go.

TERBITKAN BUKUMU DI PUSTAKA KATA

Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go.

TERBITKAN BUKUMU DI PUSTAKA KATA

Writing is an exploration. You start from nothing and learn as you go.

Jumat, 22 April 2016

#PUISI_WEEKEND EDISI APRIL 1 (Sika Indriyawati)

Sumber gambar: google
Mengeja DuniakuOleh: Sika Indriyawati

Di tubuh ini, ada liuk sungai panjang dan alirnya
Mengalirkan mimpi-mimpi tanpa batas
Mencari celah meski halang rintang menghadang
menuju muara.

Di tubuh ini, ada lautan dengan gelombang ombak
Menggetarkan segala kekuatan menerjang batas
Kekuatan-kekuatan do’a dan harapan
kepada cita dan Tuhan.

Di tubuh ini, bongkahan gunung menjulang tinggi
Memasung ego-ego dan berseru kuat dan tangguhlah
Angin ribut adalah teman karib yang tak perlu ditakuti
Jangan menyerah karena ketakutan.

Di tubuh ini, terbendung telaga dengan warna beraneka
nan cantik namun tetaplah bersahaja
Membagi kisah dari hitam hingga putih
dari yang tak bermakna hingga luar biasa

Di tubuh ini, kubangun dunia yang tak biasa
adalah diriku, menjadi luar biasa.

Surabaya, 3 April 2016

Sika Indriyawati, mahasiswa Teknik Sipil UNESA. Dari Tuban.

#PUISI_WEEKEND EDISI APRIL 1 (Devi Nur Sugiarti)


Sumber gambar: google



Sebatang Setengah Rindang

Oleh: Devi Nur Sugiarti



Terlihat di sana, hening menyendiri

Hanya satu batang pohon, sendirian merindang

Rumput ilalang memanjang, tapi bukan penghalang

angin mengalihkan pandangan lalu enggan melama

Kadang inginkan, jadi binatang jalang

Memasuki sejengkal redupnya tubuh

rasanya bukan aku, hingga kutemui itulah daku

Burung-burung menjauh, meninggalkan bekas riuh

Suatu senja menampakkan guratnya

Membidik jingga, hingga ke pelupuk mata

Kadang cinta menjadi merana

Tapi itulah, hingga langkah goyah, aku dewasa

Suatu senja menampakkan rona

Dia menamparku, dia menamparku...!

Mengelak. Berteriak. Telak meluruh daun lain menumbuh

Katanya: biarkan kujadikan dirimu lebih bermanfaat

Gemetarku lamat-lamat menderap, melemahkan

meluruk jamur-jamur kebalanan

sayat kapak terus saja menerjang, tapi menyebuhkan

menyadari; diri sebatang kekokohan rerapuhan

Jombang, 2 April 2016



Saya Devi. Gadis kelahiran kedungpapar yang masih butuh banyak belajar.

7. Dadang Ari Murtono, Penulis Buku Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu


Untuk mengetahui sosok Dadang Ari Murtono Anda bisa membaca sepenggal cerita Tentang Pengarang.

Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri

Bila ia benar bunuh diri – entah dengan cara apa – mungkin orang-orang yang tahu hari-hari terakhirnya akan meyakini bahwa dia bunuh diri karena jatuh gila. Dan bagi yang mengenalnya di masa jauh sebelum saat ini, barangkali akan lebih percaya kalau dia bunuh diri karena patah hati. “Dia lelaki yang dikutuk cinta. Dua kali dia jatuh cinta. Dan dua kali itu pula jatuh cintanya salah. Jatuh cinta kepada perempuan yang telah bersuami dan cintanya berujung malang. Dia pasti salah jatuh cinta lagi dan tak kuat menahan sakit lalu bunuh diri.”
Tapi baiklah kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ini memang berhubungan dengan cinta. Dan berhubungan pula dengan gila. Cinta memang selalu gila, bukan? Tapi kali ini dia tidak jatuh cinta kepada perempuan. Dia jatuh cinta kepada cerita-cerita. Cinta yang membuatnya meninggalkan pekerjaan mapannya di perusahaaan telekomunikasi dan dibenci keluarganya yang sebenarnya bermaksud baik dan menghendaki ia hidup seperti kebanyakan orang, “hidup yang normal,” kata keluarganya. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan. Cinta bekerja dengan cara tersendiri yang terkadang tidak masuk akal. Dan ia telah membuat keputusan.
Dia banyak menulis. Namun sekali waktu, ketika harapan masa depan yang lebih cerah terbit di dadanya, beberapa orang menuduhnya pencuri. Padahal ia pencinta teguh. Dan bagaimana orang yang mencintai sanggup mencuri sesuatu dari apa yang dicintainya? Yang terjadi sesungguhnya adalah ketika ia mencoba sampai sebatas apa cerita itu bisa dibikin, para penuduh itu menyalahpahaminya. Orang-orang itu seperti tahu semua hal tentang cerita. Tapi mereka hanya tahu apa yang sudah ada atau pernah dibuat oleh orang. Merekalah sepandai-pandai penjaga kemapanan, bukan pendorong perubahan, atau penemu hal baru. Dan ia menulis sesuatu yang belum pernah ada (barangkali pernah ada, namun tidak sepenuhnya seperti yang ia lakukan). Menulis nyaris sama dengan tulisan orang lain, namun pada beberapa bagian memelencengkannya. “Bagaimana pun juga, sekali pun ia telah memberi keterangan bahwa apa yang dibikinnya berdasarkan cerita orang lain, tetap saja dia pencuri!” teriak para penuduh itu. Lalu segenap orang, seluruh semesta seakan berbalik arah melawannya, memusuhinya. Ia merasa menjadi korban fitnah. Dan sengaja dibunuh pelan-pelan dalam sepi di dunia yang dicintainya
Lalu tak ada lagi satu pun apa yang ia bikin yang terbit. Dan teman-temannya – karena malu berteman dengan pencuri – meninggalkannya satu-satu. “Dia pernah menulis cerita berjudul Lelaki Sepi. Dan kini, benar-benar sepilah dia. Salahnya sendiri ngawur membikin cerita. Apa dia tidak tahu kalau cerita itu seperti doa? Seperti nama, bukan?” simpul salah satu temannya dalam sebuah perbincangan di warung kopi.
Sedang makian, terus saja datang dalam rombongan besar kepadanya. Sungguh, ia merasa lebih baik ditusuk pisau daripada diperlakukan seperti itu. Dalam sepi yang begitu purba, ia memutuskan berteman dengan benda-benda. Ia mulai bicara pada komputer, pada piring, pada batu, pada tembok, pada bulan, dan sebagainya.
Tapi semua tidak lantas selesai begitu saja. Sebagaimana semua orang yang hidup, ia juga butuh makan, minum, sabun, odol, dan perkara-perkara lain yang hanya bisa selesai bila ada uang. Ia percaya seseorang harus melakukan sesuatu dilandasi cinta. Bukan keterpaksaan. Dan karena tak ada pekerjaan yang dicintainya selain menulis, maka dia terus menulis. Terus dan terus. Dan terus pula berupaya agar ada yang berkenan menerbitkan tulisannya. 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, ia menulis. Telah berapa ribu cerita ia tulis? Tapi apa yang pernah dialaminya, fitnah itu, tak cukup  menumbuhkan – paling tidak – rasa kasihan bagi orang-orang di koran dan penerbit untuk meluluskan permintaannya. Sekali waktu, ada sebuah koran yang memuat tulisannya, dan hanya dalam hitungan menit, ribuan hujatan dialamatkan ke koran tersebut. Siapa bilang pengarang telah mati dan hanya karya yang bicara ketika tulisan itu telah selesai dibuat? Omong kosong.
Lalu seperti Akutagawa, penulis yang ceritanya pernah ia garap ulang dan menyebabkan ia mengalami nasib buruk sedemikian panjang, ia sepenuhnya menyadari dirinya menjadi gila. Barangkali bila persoalannya adalah sekadar menjadi gila, maka akan lebih mudah menanggungkannya. Tapi yang ia alami adalah menyadari sepenuhnya bahwa ia tengah dalam proses menjadi gila. Dan sungguh, itu sangat menyakitkan. Seandainya Akutagawa masih hidup, kau bisa bertanya kepadanya bagaimana rasa yang sedemikian itu. Bukan hanya sepi yang membikin seseorang menjadi gila, namun juga lapar dan perasaan tidak dihargai. Dan pada suatu malam, ia didatangi oleh makhluk-makhluk yang tidak ada dalam dunia nyata, makhluk-makhluk yang ia yakini juga mendatangi Akutagawa menjelang kematian sang pengarang itu karena bunuh diri pada usia 35 tahun. Makhluk-makhluk yang disebut Akutagawa Kappa dalam sebuah novelet dengan judul ‘Kappa’. Makhluk setinggi 1 meter dengan tangan dan kaki berselaput dan tengah puncak kepalanya berbentuk oval, cekung seperti piring.
Dan ia mulai melupakan benda-benda. Benda-benda tidak bisa diajak berbincang, apalagi berdiskusi. Ia telah mencoba menceritakan hal paling remeh kepada benda-benda itu, semisal, “hari ini hujan, aku kedinginan, apakah kau juga kedinginan?” namun benda-benda tetap saja diam. Dengan para Kappa, ia bisa berbincang dan berdiskusi. Apalagi ada dari Kappa itu yang berprofesi sebagai filsuf, penyair, pegawai bank, gubernur, bahkan sampai pemabuk dan pengangguran. Ia bisa bicara banyak. Di mana-mana, selalu saja ada Kappa yang menemaninya. Dan di mana-mana itu pula, ia berbincang dengan asyik. Keasyikan yang membuatnya lupa mandi, lupa ganti baju, lupa cukur rambut dan potong kuku.
“Awalnya ia bicara dengan benda-benda, sekarang malah dengan sesuatu yang tak ada,” ia tidak menghiraukan ucapan orang semacam itu.
“Dasar pengarang gila. Ia merasa tengah berbicara dengan Kappa. Itu pasti karma karena dia pernah mencuri karya Akutagawa. Biar saja dia gila seperti itu. Sebentar lagi dia pasti akan mati,” sahut orang yang lain.
Di antara semua Kappa, ada satu yang paling disukainya. Nama Kappa itu tidaklah penting benar. Yang jelas, Kappa itu adalah penyair. Ia merasa melihat pantulan dirinya di cermin pada diri Kappa itu. Penyair yang telah menulis ribuan puisi tapi tak satu pun yang menganggap puisi sang Kappa bagus. Kappa itu hidup dalam keprihatinan yang sangat. Bahkan, seringkali, ketika lapar telah terlalu, mengais makanan sisa dari tong sampah. Beberapa kali, sang Kappa berpura-pura gila agar bisa kencing di celana dan makan gratis di warung. Kappa itu juga tak jarang melakukan hal-hal tidak masuk akal yang menurutnya dikerjakan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai bahan tulisannya. Ketika punya uang, Kappa berambut kusut itu pernah menelan sepuluh butir obat sakit kepala hingga nyawanya nyaris lepas. “Agar aku tahu bagaimana rasanya sekarat,” terang si Kappa.
“Dunia benar-benar sudah miring!” kata si Kappa pada suatu kali. Tapi yang sesungguhnya terjadi adalah si Kappa penyair yang jalannya miring. Segenap dunia masih pada posisinya yang wajar. “Aku telah menulis puisi terhebat. Yang terhebat dari semua yang pernah aku tulis. Dan kalau orang-orang tetap saja mengejekku, aku akan bunuh diri. Aku tidak sudi hidup di dunia yang miring. Hanya orang-orang miring yang akan meremehkan apa yang telah kubuat ini,” kata si Kappa suatu sore. Dan ia menjawab perkataan si Kappa dengan kalimat yang mungkin sekali akan terus disesalinya. “Barangkali dunia tidak membutuhkan puisi-puisimu. Bahkan mungkin, dunia juga tidak membutuhkanmu. Dan tak akan ada bedanya kau hidup atau mati,” katanya meski sesungguhnya kalimat yang diucapkannya sembari menundukkan wajah itu lebih ia peruntukkan bagi dirinya sendiri.
Sore itu adalah sore terakhir ia bertemu sang Kappa penyair. Seminggu ia tidak bertemu sebab sang Kappa bilang butuh waktu untuk menyempurnakan puisi tersebut. Dan pada hari kedelapan, ia mendengar dari Kappa filsuf – Kappa yang paling sering mengatakan alangkah buruk dan tidak bermutunya karya Kappa penyair dan bahwa hanya orang-orang idiot yang mau membaca tulisan si Kappa penyair itu – bahwa Kappa penyair mati di kamarnya gantung diri. Ia terkejut mendengar berita itu. Ia berduka. Ia teringat apa yang diucapkan si Kappa pada pertemuan terakhir mereka. Dan ia semakin terkejut ketika Kappa filsuf itu berkata lirih, “barangkali setelah ini, karya-karya yang ia tinggalkan akan lebih bernilai. Bukankah bahkan dalam duniamu sendiri, banyak pengarang yang jadi penting setelah menuntaskan hidupnya yang tragis dengan cara yang juga tragis?”
Dan malam itu, ia menulis sebuah cerita tentang dirinya sendiri. “Sebuah Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri” judulnya.
Ah, seandainya kau membaca cerita itu, mungkin kau akan keheranan bagaimana seseorang bisa meneguhi sesuatu yang seperti begitu sia-sia. Tapi bila kau pernah membaca Myte Sysiphus-nya Camus, mungkin kau akan menggumam: “haruslah dibayangkan Dadang bahagia!”

Dan apakah Dadang benar-benar jadi bunuh diri? Entahlah. Tapi bila benar ia bunuh diri, pastilah ia akan didapati mati sambil membawa sebilah pisau (Ia yakin genggaman yang kuat akan membawa pisau itu turut bersama rohnya). Untuk apa? Sekali waktu, ia pernah berkata, “kelak di akhirat, bila Tuhan membungkam dari pertanyaanku kenapa takdir sebegini buruk yang ditimpakan kepadaku, maka aku akan menikam-Nya. Aku benci Tuhan yang bisu.”

6. Akhmad Fatoni, Penulis Buku Tembang Dolanan

Akhmad Fatoni, Lahir dan tinggal di Mojokerto. Alumnus jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNESA. Saat ini sedang menyelesaikan studi master di jurusan Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Surabaya. Aktif di beberapa organisasi di antaranya Lesbumi Mojokerto, menjabat sebagai wakil ketua; DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto), menjabat sebagai sekretaris bidang program. Selain itu juga   tergabung di Forseda (Forum Sebrang Dalan) dan mendirikan beberapa komunitas yakni Komunitas Arek Japan-KAJ (komunitas menulis), Teater Lirih, dan Sampan Tanpa Lautan-STL (kelompok musik akustik), ketiga kelompok tersebut ia kelolah dalam satu sanggar yang beralamat di Mojosari-Mojokerto.
Selain menulis puisi, ia juga cerpen, dongeng, skenario, naskah drama, esai, dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di beberapa media, di antaranya Buletin Tinta, majalah Tera, Majalah Ekspresi, Majalah Sarbi Kita, Majalah As-Syarif, Majalah Widyawara, Jurnal Lembah Biru, Jurnal Rabo Sore, Jurnal Rabo Sore, Jurnal Jombangana, Radar Mojokerto, Surabaya Post, Jawa Post, Berita Metro, Santri News, Pos Bali, dan Denpasar Post. Selain itu, ia juga kerap mengeditori beberapa buku di antaranya Rumput di Telapak Tangan (2014), Kolase (2014), Sepotong Rindu yang Terbagi (2014), Serius Bermain (2014), dan Bunga Rampai Terminal Sastra 2014 (2014).
Sedangkan puisi-puisi yang lainnya bisa dibaca dalam antologi persama, Duka Muara (KRS, 2008), Kapas Nelayan dan Nabi yang Kesepian (KKL, 2009), Pesta Penyair Jawa Timur, (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), Si Pencari Dongeng (Dewan Kesenian Surabaya, 2010), Tabir Hujan, (Pustaka Ilalang, 2010). Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit, (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2010), Antologi Puisi Penyair Mojokerto, (Wahyu Pustaka, 2011), Pedhut Lirang, (KKL, 2012), Piknik Becak Cinta, (KKL, 2013), Berdoa Bersama (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2014), Tasbih Hijau Bumi (Lesbumi Jatim, 2014). Dan cerpennya terangkum dalam antologi bersama, Tentang Kami Para Penghuni Sorter, (KKL, 2011). Sedangkan buku puisi tunggalnya, terangkum dalam Lengan Lirang (KKL, 2012) dan esai tunggalnya dalam Kredo Mimpi (Griya Pustaka, 2014).


Selain di bidang kepenulisan, ia juga menekuni teater, fotografi, dan film dokumenter. Hal itu membuatnya diundang ke beberapa kota di antaranya, Mojokerto, Jombang, Kediri, Nganjuk, Trenggalek, Pacitan, Jogjakarta, Malang, Surabaya, Jakarta, Balikpapan. Pada tahun 2012, mendapatkan penghargaan Tali Asih dari Gubernur Jawa Timur. Sedangkan beberapa tulisannya yang lain bisa dikunjungi di www.sastramaya.com. Dan bisa dihubungi di fatoni.akhmad@gmail.com atau twitter di @akhmadfatoni1

5. Hikayat Ashwan Sha, Penulis Buku Setelah Gerimis

Hikayat Ashwan Sha lahir di Sabah Malaysia pada 18 April 1994. Lulusan SD Paket A, dan Lulusan SMP di Comunnity Learning Center atau SMP TERBUKA pada tahun 2014. Aswan adalah anak TKI yang dibesarkan di Malaysia. Aswan anak ke tiga dari delapan bersaudara. Semuanya lahir di Malaysia tapi tetap berwarganegaraan Indonesia. Seumur hidupnya Aswan baru satu kali menginjakkan kakinya ke tanah air tercinta dan sekaligus melajutkan pendidikannya SMA Plus Permata Insani Islamic School. Ia mendapatkan Biasiswa Full selama 3 tahun dan tinggal di Asrama. Sewaktu SMP Aswan bekerja sambil sekolah untuk membantu kedua orangtuanya yang bekerja sebagai buruh di Malaysia. 

Aswan bercita-cita ingin menjadi seorang Sastrawan Indonesia suatu hari nanti agar dapat menghidupkan kembali sastra Indonesia dan dikenal dunia serta dapat memberikan gambaran bagi anak-anak Indonesia yang ada di Sabah Malaysia tentang kebudayaan yang ada di Indonesia agar anak-anak TKI semakin cinta akan negerinya. Buku kumpulan cerpen yang berjudul “SETELAH GERIMIS” adalah buku pertama yang ditulis atas pengalaman selama di Malaysia dari semua cerita 70 persen adalah kisah nyata yang dialami Aswan sendiri dan Aswan saat ini tinggal di Pasar Kemis Tangerang, Banten. Pencapaian Aswan selama bersekolah Di SMPT adalah juara 1 tari berpasangan apresiasi kreasi, seni, dan olahraga SESABAH MALAYSIA 2012, dan Juara lomba mengarang hari kemerdekaan RI 68 KJRI SABAH MALAYSIA 2013. Fb: Hikayat ashwan sha. Email: hikayatashwansha@gmail.com. Alamat: Perum Villa Permata Blog G1 Kelurahan Sindangsari Kecamatan Pasar kemis Kabupaten Tengerang Banten.